Gigi emas maupun perak sudah lama dikenal manusia lebih dari satu abad. Gigi buatan dari logam itu sebagai pengganti gigi asli yang tak bisa terganti setelah mereka memiliki susunan gigi tetap.
Sekarang, logam itu tak hanya digunakan sebagai pengganti gigi saja. Para ahli bisa menempatkan sensor emas pada sebuah gigi. Teknologi ini disebut dengan "tato gigi".
Ide menarik ini dirancang oleh nanoscientist Princeton, Michael McAlpine dan bioengineers Tufts, Fiorenzo Omenetto, David Kaplan and Hu Tao. Sensor ini terbuat dari emas, sutra dan grafit. Sensor tersebut dapat mengukur kadar bakteri dalam mulut. Nantinya cara ini akan membantu dokter gigi apakah mulut pengguna berpotensi terserang penyakit gusi bengkak atau tidak.
Ternyata, banyak penyakit yang diindikasi dari tanda-tanda dalam air liur, seperti AIDS maupun tukak lambung. Dan alasan inilah mengapa dokter gigi selalu menanyakan kepada pasien memiliki riwayat penyakit apa saja sebelum si pasien meminta perawatan gigi.
Cara kerja sensor ini cukup sederhana. Lapisan emas yang berfungsi sebagai elektroda, lapisan graphene dan peptida yang berlekatan dengan graphene. Semuanya disatukan dengan lapisan sutra.
Mendeteksi bakteri tertentu juga membutuhkan peptida yang khusus pula. Beda bakteri, maka peptida yang mampu mendeteksinya juga berbeda.
Lapisan sutra yang dimaksud adalah bukan kain. Namun sebenarnya untai tunggal yang struktur proteinnya telah diubah. Setelah ditekan ke permukaan gigi, lapisan sutra ini akan larut sehingga sensor gigi akan terjebak di tempat itu. Semuanya didukung oleh jaringan nirkabel.
Perangkat ini memang belum diujikan pada manusia. Sampai saat ini hanya sapi saja karena binatang ini kecil kemungkinan mengeluh akan benda asing yang menempel di giginya. Berbeda dengan manusia yang justru lebih sensitif. Kulit apel yang tipis saja, mereka seringkali sudah sangat terganggu. Maka perangkat yang akan dicobakan tentu saja lebih tipis. link
Translate
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar